Pernah nyaris tenggelam. Ombak hampir saja berkali-kali membalikkan kapal kecil kami dan mempersilakannya menenggelamkan hidup kami hingga karam. Tapi, kami bertahan. Berenang dalam ketidak-pastian akan datangnya pertolongan. Menggapai apapun sebisanya. Menggenggam papan kayu terdekat. Berpegangan. Bernafas walau tersengal-sengal. Bersama, berdua.
Aku bersyukur sekali, lahir dan dibesarkan di tengah keluarga yang ada. Sejak kecil, apapun yang aku mau, apapun yang aku butuh, selalu ada, selalu cukup, selalu terpenuhi bahkan tanpa perlu aku memintanya lebih dulu.
Ketika akan menikah, ia sedang dalam proses menyelesaikan studi S-2 nya. Tapi, kami memutuskan untuk 'lepas' dari orang tua. Benar-benar lepas. Menggelar sendiri 'pesta' kecil untuk pernikahan kami. Membangun rumah tangga sendiri. Dengan tangan dan kaki sendiri.
Aku pernah ditempa hidup mandiri di kota orang selama beberapa tahun. Menjalani macam-macam kehidupan dengan tangan dan kaki sendiri. Mengurus diri sendiri bahkan diberi kemudahan 'membantu' hidup orang lain. Jadi, kalo hidup berdua pastilah lebih mudah. Begitu pikirku.
Kenyataannya berbeda. Aku tidak pernah membayangkan, bakal menjalani tahun pertama pernikahan dengan penuh kejutan. Diterjang, bukan lagi badai, melainkan tsunami. Sistem keluarga yang berbeda, kebiasaan yang sangat jauh berbeda, nilai-nilai dan pandangan hidup yang berbeda. Membuatku benar-benar stress dan kewalahan.
Aku juga tak pernah membayangkan, pernikahan akan membuat hidup kami begitu amat dikasihani dan dibanding-bandingkan. Tapi, aku bukan perempuan cengeng dan ia bukan laki-laki lemah yang begitu saja membiarkanku kesusahan.
Sampai ia pernah menuliskan ini untuk ku :")
***
Menuju tahun ke lima, kapal kecil kami masih berlayar. Ombak di laut kehidupan kami sedang tenang. Bahkan awak kapal kami bertambah satu orang lagi, Diba. Ia punya pekerjaan yang baik. Dikelilingi kawan-kawan yang baik. Menunaikan tugas sebagai kapten kapal dengan sangat baik. Membawa kapal kecil kami berlabuh dengan selamat. Cukup untuk membuat hidup kami cukup.
Belum punya rumah, tapi bersyukur punya tempat berteduh. Bukan kendaraan yang mewah, tapi bersyukur bisa membawa kami nyaman kala berjalan jauh.
Diba tumbuh dengan baik, sehat, dan selalu girang bukan main ketika bermain bersama.
***
Tidak ada yang dapat 'menyelamatkan' kehidupan kami selain kami sendiri. Jentera kehidupan akan selalu memutar pernikahan kami dan membawa kami kembali ke dalam badai yang sama. Berjuang sendirian dalam pernikahan itu omong kosong. Butuh doa yang terus melangit agar tangan dan hati tetap setia bergenggaman erat.
Dan aku bersyukur luar biasa ~