Cukup tersentak melihat kekhawatiran seorang bapak di salah satu media sosial, tentang rendahnya minat baca anak-anak jaman sekarang, yang lebih menyukai edukasi dan hiburan menggunakan audiovisual. Lebih menikmati YouTube daripada membaca ensiklopedia. Lebih senang main gadget daripada belajar aksara. 'Kids jaman now' memang sudah berbeda, ya. Kata mereka, baca buku itu 'so last year' banget, sudah nggak jaman :(
Aku bersyukur sejak kecil sudah diperkenalkan dan diajarkan oleh Ayah untuk menyukai buku. Aku ingat, Ayah membawakan sebuah buku berjudul The Lost Boy karya Dave Pelzer, yang sebenarnya buku tersebut terlalu berat untuk bisa dinikmati oleh anak perempuan yang masih berusia 8 tahun kala itu. Buku yang akhirnya ku baca kembali dan baru bisa ku pahami ketika masuk sekolah menengah.
Buku yang diangkat dari kisah nyata tentang seorang anak laki-laki broken home yang juga mengalami child abuse, hingga ia pun hidup dalam ketakutan dan keterasingan meski tinggal bersama ibunya. Sejak baca buku itu, aku makin bersyukur sudah dilahirkan dan dibesarkan oleh kedua orang tua yang melakukan perannya dengan baik, menyayangi dan memenuhi semua hak ku sebagai seorang anak.
Buku yang diangkat dari kisah nyata tentang seorang anak laki-laki broken home yang juga mengalami child abuse, hingga ia pun hidup dalam ketakutan dan keterasingan meski tinggal bersama ibunya. Sejak baca buku itu, aku makin bersyukur sudah dilahirkan dan dibesarkan oleh kedua orang tua yang melakukan perannya dengan baik, menyayangi dan memenuhi semua hak ku sebagai seorang anak.
Sejak itu pula, aku mulai kecanduan membaca. Tiap kali libur, aku meminta Ayah mengantarkan ke toko buku untuk sekedar baca-baca serial Goosebumps dan Detective Conan yang selalu aku tunggu-tunggu.
Lalu kecanduan ini semakin menggila saat kuliah. Aku berani memangkas separuh uang saku diawal bulan demi nggak ketinggalan punya majalah dan buku favoritku ; National Geographic, buku-buku karya Ayu Utami, buku-buku karya Windy Ariestanty, dan buku-buku karya Ika Natassa. Nggak pernah menghitung secara pasti berapa buku yang sudah saya baca.
Yaaa... aku memilih untuk berbuat sesuatu. Menyewa satu kamar tambahan di samping kamar kost khusus untuk menyimpan koleksi buku-buku dan membangun 'perpustakaan kecil' di dalamnya. Memberi ruang bagi teman-teman kost untuk bebas membaca. Memulai dari hal kecil seperti ini untuk menumbuhkan minat baca. Lalu tiap satu buku yang jadi penghuni baru di rak buku, selalu aku selimuti dengan sampul plastik yang ku bubuhi tanda tangan dan tanggal pembelian. Iya, aku senang melihat buku-buku tersusun cantik dan rapi.
Pergi kemana pun, sebisa mungkin aku bawa buku untuk baca-baca. Bawa satu atau dua buku saja. Sebab bisa jadi bukunya akan bertambah ketika pulang, hahaaa.
Aku memilih untuk berbuat sesuatu
Yaaa... aku memilih untuk berbuat sesuatu. Menyewa satu kamar tambahan di samping kamar kost khusus untuk menyimpan koleksi buku-buku dan membangun 'perpustakaan kecil' di dalamnya. Memberi ruang bagi teman-teman kost untuk bebas membaca. Memulai dari hal kecil seperti ini untuk menumbuhkan minat baca. Lalu tiap satu buku yang jadi penghuni baru di rak buku, selalu aku selimuti dengan sampul plastik yang ku bubuhi tanda tangan dan tanggal pembelian. Iya, aku senang melihat buku-buku tersusun cantik dan rapi.
Pergi kemana pun, sebisa mungkin aku bawa buku untuk baca-baca. Bawa satu atau dua buku saja. Sebab bisa jadi bukunya akan bertambah ketika pulang, hahaaa.
Dari menyukai buku, aku belajar bagaimana 'merelakan' untuk mengusahakan 'sesuatu' yang lebih besar manfaatnya
Melalui buku The Journey yang berisi 12 kisah perjalanan yang dikemas dalam 12 cerita berbeda, kolaborasi Windy Ariestanty dengan penulis-penulis kece lainnya seperti Alexander Thian, Trinity, Valiant Budi, dkk yang sudah khatam banget soal menulis kisah perjalanan, aku seperti sedang berada di Lucerne, Spanyol, Tel Aviv, Mekkah, New York, Andalusia, dan sedang menikmati tempat-tempat cantik di luar sana. Kisah mereka memberi percikan semangat yang besar. Hingga akhirnya patah hati membuatku menemukan perjalanan sendiri :)
Aku salut dengan keberanian seorang Ayu Utami bicara tentang seksualitas, cinta, dan nafsu dalam bukunya 'Pengakuan Eks Parasit Lajang'. Saya kagum bagaimana ia dengan berani menggunakan kosakata tabu tanpa membuat para pembacanya berpikiran kotor. Entah nyata atau tidak, tiap kalimat yang ia tuangkan dalam semua bukunya terasa penuh dengan kejujuran. Gaya bahasanya sangat argumentatif dengan penuturan bahasa sastra yang sangat apik.
Dunia ini penuh orang jahat yang tidak dihukum. Mereka berkeliaran. Sebagian karena tidak tertangkap, sebagian lagi memang dilindungi, tak tersentuh hukum atau aparat (Saman by Ayu Utami)
Dari buku pula, aku mengerti bagaimana rasanya bahagia tanpa gadget dan jauh dari hingar bingar media sosial. Ketika ingin bertemu kenyamanan tanpa diganggu oleh apapun dan siapapun, maka teman terbaik adalah buku.
Jadi ketika ada yang bertanya hobiku apa, baca buku jawabannya. Tentang hobi jalan-jalan, apalagi belanja, aahhh sudahlah. Itu hanya persoalan duniawi yang tak akan kunjung selesai kalau aku terus mengejarnya. Perjalanan dan pengalaman hidup akan mengisiku dengan berbagai ilmu dan rasa. Sebab banyak hal di dunia ini yang belum aku tau. Membaca, caraku mengisi hidup dengan ilmu dan rasa itu.